"Ter-teran" or Fire War is the Beautiful Culture in Modernization
“Perang
Api” atau yang disebut dengan Terteran oleh masyarakat di Desa Jasri,
Kelurahan Subagan, Kec./Kab. Karangasem, sekitar 4 km dari kota Amlapura
menuju jalur arah jalan Amlapura–Denpasar. Terteran sama artinya dengan
lempar-lemparan.
Tradisi
Terteran yang digelar setiap dua tahun
sekali pada tahun bilangan ganjil, terkait dengan digelarnya upacara desa Aci
Muu-Muu yang diselenggarakan setiap Pengerupukan hari Tilem
Kasanga, sehari sebelum hari Nyepi. Tradisi ini bertujuan untuk
menetralisir roh jahat yang mengganggu kehidupan manusia.
Dalam penyelenggaraannya, dari proses persiapan sampai pada hari upacaranya, memakan waktu yang cukup lama ( bulanan ). Dari rapat / sangkep persiapan, kemudian pengumpulan sarana upakara, ada yang disebut “ Ngalang “, dimana seluruh anggota masyarakat yang sudah terbagi dalam beberapa banjar, akan berkeliling ke seluruh wilayah desa, sesuai bagian masing – masing banjar, untuk memetik buah kelapa dan sarana lainnya yang diperlukan untuk upakara. Setelah semua sarana terkumpul, selanjutnya secara bergiliran, anggota masyarakat secara bergotong royong menyelesaikan upakara ( Bebantenan ) sampai pada dilaksanakannya pecaruan ( Kurban ).
Dalam penyelenggaraannya, dari proses persiapan sampai pada hari upacaranya, memakan waktu yang cukup lama ( bulanan ). Dari rapat / sangkep persiapan, kemudian pengumpulan sarana upakara, ada yang disebut “ Ngalang “, dimana seluruh anggota masyarakat yang sudah terbagi dalam beberapa banjar, akan berkeliling ke seluruh wilayah desa, sesuai bagian masing – masing banjar, untuk memetik buah kelapa dan sarana lainnya yang diperlukan untuk upakara. Setelah semua sarana terkumpul, selanjutnya secara bergiliran, anggota masyarakat secara bergotong royong menyelesaikan upakara ( Bebantenan ) sampai pada dilaksanakannya pecaruan ( Kurban ).
Menginjak pada Hari Pengrupukan pada saat (
Pelaksanaan Terteran ), pada pagi harinya akan dilakukan pemotongan sapi, yang
nantinya, beberapa bagian dari sapi tersebut seperti kepala, kulit badan, kaki
dan ekornya akan dipakai sebagai sarana persembahan / kurban ( Caru ).
Sedangkan dagingnya akan dibagikan kepada warga masyarakat untuk diolah seperti
biasanya dalam pesta adat tradisional dan setelah itu dilanjutkan dengan makan
bersama yang dikenal sebagai tradisi “ Megibung “.
Selanjutnya, Sekitar pukul 17.00, satu persatu
warga mulai keluar menuju jalan raya, tempat pelaksanaan terteran, yang dibantu
oleh kepolisian dan polisi adat ( Pecalang ) sudah ditutup sebagai jalur lalu
lintas kendaraan sampai upacara selesai. Warga masyarakat yang laki – laki,
keluar dengan membawa bobok/obor ( Sundih ) yang terbuat dari daun kelapa yang
sudah kering, diikat sedemikian rupa dalam beberapa ikatan yang cukup kuat,
pada pangkalnya dimasuki batang kayu kecil sehingga cukup bagus untuk
dilemparkan. Sedangkan warga masyarakat yang perempuan, yang punya anak kecil,
akan mengajak ikut anaknya, karena menurut kepercayaan masyarakat, pada saat
terteran itu merupakan saat yang baik untuk mengusir roh – roh jahat yang
biasanya mengganggu bayi dan anak kecil.
Ketika waktu sudah menunjukkan sandykala, suasana
mulai gelap, tandanya upacara terteran akan segera dimulai. Semua petugas sudah
siap pada tugas masing – masing. Semua lampu dipadamkan. Sekecil apapun sinar
tidak diperbolehkan, bahkan menyulut rokokpun tidak diperkenankan. Benar –
benar gelap gulita dan sepi, karena pada saat itu warga tidak boleh bersuara, menjadikan
suasana berubah tegang dan dalam ketegangan itu, terlihat melintas laki – laki
kekar, dengan seragam khusus kain putih dan saput loreng ( Poleng ) dengan
memakai ikat kepala yang terbuat dari daun enau ( Ambu ).
Berjalan agak pelan tanpa suara, dua atau tiga orang, sampai akhirnya yang terakhir ditandai oleh melintasnya Jero Mangku. Mereka berjumlah sekitar 20 orang, merupakan orang – orang yang bertugas melarung ( memundut ) sesembahan / caru ke laut.
Kemudian di belakang Jero Mangku, warga masyarakat
mengikuti dibelakang dengan sedikit bergegas agar tidak ketinggalan, menuju
Bale Agung untuk mengambil caru, kemudian berkeliling sekitar desa jasri dan berjalan
dengan cepat membawa caru untuk dilarung ke laut ( Pantai Jasri ). Sekembalinya
mereka dari melarung caru ke laut malam sudah
menyungkup bumi. Tak ada bersitan lampu penerang di jalan maupun rumah.
Kemudian di tandai dengan adanya api yang
berjalan semakin dekat dari arah selatan memasuki perempatan jalan tepat di
patung salak, pertanda para pemundut sudah datang kemudian para pemundut di
hadang serta diter (dilempari) bobok (obor)
oleh puluhan orang warga desa., suara gemuruh sorak warga semakin ramai,
disertai dengan bunyi kentongan kayu ( Kulkul ) yang bertalu – talu. Para
pemundut dengan lincah dan sigap berkelit atau menangkis serangan api.
Meskipun
kena lemparan, mereka tidak merasakan panas, karena bagi yang kena api akan
diperciki tirta suci. Proses ini dibagi dalam 3 tempat, di Patung Salak, Di
depan Banjar Ramya Sabha dan di Depan Balai Masyarakat. Pembawa caru yang
disebut dengan Wong Bedolot itu,
tidak boleh melawan, hanya menangkis saja dengan obor yang mereka bawa, apabila
obor yang dipakai melempar itu habis, maka Wong
Bedolot, para Jero Mangku dan Pemundut sudah lepas dari cengkeraman
lemparan, dan terus lari bergegas-gegas menuju arah Pura Bale Agung.
Maksud
melempar dengan bobok, bahwa sekembalinya pembawa caru dan pengiringnya
dari pantai diperkirakan masih diikuti oleh sejumlah roh jahat yang dapat
mengganggu ketentraman lingkungan, karena itu ia harus dinetralisir dan tidak
boleh masuk ke wilayah desa, sehingga alam lingkungan desa menjadi tentram.
Suasana malam itu betul-betul kelam dan tegang, tanpa seberkas sinar lampu di
rumah penduduk. Yang terlihat pada saat hanyalah pancaran sinar obor di
kegelapan malam.
Babak berikutnya adalah permainan perang api (
Terteran ). Setelah proses upacara diatas selesai, dilanjutkan dengan permainan
perang api. Permainan ini biasanya diikuti oleh sebagian besar laki – laki
muda, tetapi ada juga beberapa yang sudah dewasa. Mereka akan membagi diri
mereka menjadi 2 kelompok yaitu, kelompok Jasri Kaler dan Jasri Kelod, yang dibatasi oleh seutas daun enau (ambu) sebagai garis
tengahnya dan masing – masing tidak boleh melewatinya.
Dalam ritual
ter-teran, dua kelompok saling berhadapan dalam pertarungan mendebarkan dengan
menggunakan bobok (obor) yang terbuat dari daun kelapa kering berukuran
80 centimeter. Keseluruhan ”peperangan” berlangsung bisa mencapai sekitar 1
jam, dan berlangsung dalam 3 babak sampai
persediaan bobok/sundih habis.
Setelah dua kelompok ini terbentuk, mereka
langsung menyulut bobok/sundih dan siap untuk berperang api. Masing – masing
kelompok tanpa menghitung berapa jumlahnya, yang siap dengan senjata masing –
masing, hanya menunggu bunyi peluit dari pecalang, setelah itu mereka saling
serang dengan bobok/obor( Sundih ) tersebut.
Suara riuh warga yang menonton menambah semarak permainan ini, sorakan semakin ramai ketika ada peserta yang terkena lemparan api, maka sorak akan semakin ramai.
Suara riuh warga yang menonton menambah semarak permainan ini, sorakan semakin ramai ketika ada peserta yang terkena lemparan api, maka sorak akan semakin ramai.
Terkadang lemparan obor tidak memenuhi
sasaran sampai membentur penonton, suara riuh penonton lainnyapun pecah
menertawakan penonton yang kena sasaran lemparan.
Pasukan
perang Terteran, sangat semangat sekali melakukan peperangan walaupun keringat
bercucuran membasahi badannya. Meski luka bakar, rasa senang, perih dan sakit
berbaur menjadi satu, namun tak mereka rasakan serius luka itu, sebab kalau
sudah memegang secekal obor pada gejolak hati peperangan itu mereka
seolah-olah tak ingat apa-apa lagi.
Atraksi
”Perang Api” massal Terteran bukan hanya digelar saat malam Pengerupukan saja,
tetapi lagi dua harinya, pada ngembak geni (sehari setelah
Nyepi), lagi digelar ”Perang Api” Terteran di tempat yang sama. Hal ini
dilakukan untuk memberikan kesempatan bagi penonton atau warga desa Jasri yang
belum sempat menyaksikan dan ikut ”Perang Api” Terteran.
nice so beatiful :*:*
BalasHapuspas banget nie momentnya, bisa jadi ajang memperkenalkan budaya nie. nice wis 🙌
BalasHapusHehe iya tya, maaci
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusMantap jiwa sista,
BalasHapusNice, wis